Entah mengapa tapi aku sangat membenci gadis yang satu itu. Perawakannya kecil, mungil. Pembawaannya ceria, cuek, tapi juga sopan. Dia baik dan suka berbagi. Dia selalu bersedia membantuku kapanpun aku butuh bantuan. Dia pendengar yang baik. Tapi entah mengapa, aku begitu tidak suka padanya.
Tak ada yang salah dengannya. Apa jangan-jangan aku yang salah? Dia tidak layak dibenci. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku selalu menghindar jika ia mengajakku mengobrol di SMS, dan aku selalu mencari jawaban yang pas untuk sekedar menghentikannya. Sebisa mungkin aku mencoba menghindar.
Aku merasa bersalah, tapi disaat yang sama aku merasa benar. Kadang aku merasa kasihan, tapi aku selalu mencoba untuk tidak peduli. Sungguh, tidak ada yang salah terhadapnya. Mungkin aku yang jahat. Benar-benar jahat.
Di suatu malam tahun baru, ia datang dalam mimpiku. Wajahnya yang ceria, tawanya yang renyah. Aku tidak mudah melupakannya. Aku takut menyakitinya. Aku takut dunia marah karena perlakuan jahatku terhadapnya. Sampai suatu ketika, di akhir bulan Januari yang begitu dingin… Aku telah menyakiti hatinya.
Dia datang saat aku tengah berkerumun dengan teman-temanku. Kami berkumpul, bercanda dan mengobrol tentang banyak hal. Dia datang dan menyapaku. Teman-temanku mengejek-ngejekku, katanya dia menyukaiku. Rasa maluku bertambah besar.
“Kau menyapaku?”bentakku kasar.
“Apa?”matanya membelalak dan dia bertanya lembut.
“Maaf tapi kurasa kau salah orang,”lanjutku, dan semua teman-temanku tertawa. “Hanya temanku yang bisa menyapaku,”
“Tapi aku temanmu,”bisiknya perlahan, tampak bingung dengan situasi ini.
“Yah, well, mungkin cuma kamu yang menganggap begitu. Tapi aku tidak.”
Semua teman-temanku tertawa dan memujiku. Mereka bertepuk tangan atas caraku menolak dia yang katanya sangat keren itu. Diluar dugaan, dia tersenyum, bibirnya bergetar dan tatapannya getir. Airmata tak terbendung. Satu per satu, perlahan butiran airmatanya jatuh. Dia terpaku di tempat, meskipun aku sangat yakin saat itu kakinya sudah ingin berlari kabur saking malunya. Kurasa ia sudah kalah telak, tapi ternyata dugaanku salah.
“Tidak apa-apa jika kau membenciku,”ucapnya pelan. “Tidak apa-apa kalau selama ini kau berpura-pura menjadi temanku. Bahkan kurasa kau mau menerimaku menjadi sahabatmu. Tidak apa-apa jika kau tidak menganggapku, tidak apa-apa jika kau menginginkan aku pergi dari hidupmu. Tapi justru, aku kenapa-kenapa saat aku mengetahui semuanya itu.”
Tawaku berhenti saat itu juga. Aku terkejut dan rasanya menyakitkan sekali. Pipiku seperti tertampar dan wajahku serasa ditendang. Waktu serasa berhenti berdetak dan dunia seakan berhenti berputar. Untuk beberapa saat, aku merasa… sangat jahat. Tiba-tiba waktu seakan berputar kembali, bertahun-tahun yang lalu saat pertama kali aku mengenalnya. Bodohnya aku. Jahatnya aku. Aku sendiri merasa ngeri terhadap diriku sendiri. Jijik. Kurasa aku orang terjahat di dunia. Mengerikan sekali rasanya. Aku tak pernah bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku benar-benar tak dapat menggambarkan perasaanku. Aku yang kalah. Aku terdepak.
Dia berlari dan menangis, tangisnya sangat lembut dan isaknya terdengar menyalahkan diriku. Tangisannya,… tak dapat kulupakan, seperti memberontak dan menampar diriku. Aku benar-benar merasa bersalah.
Tiba-tiba aku tidak lagi membencinya. Tembok kebencian itu langsung runtuh dan aku langsung lega. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang harus aku selesaikan. Aku harus minta maaf. Tiba-tiba aku jadi begitu mencintainya. Cinta yang rela, cinta yang tulus, cinta yang tak ingin kulepaskan.
Malam hari itu pikiranku terbang, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Pikiranku melayang saat aku berbuat salah terhadapnya.
George, aku baru saja menyelesaikan ceritaku. Kamu ada waktu membacanya?
Aku tidak suka membaca. Maaf.
George, besok malam Halloween. Ayo pakai kostum yang sama!
Aku tidak bisa. Aku harus pergi bersama teman-temanku.
George, Ibuku mengundang keluargamu untuk ikut makan malam di malam Natal nanti. Aku harap kamu bisa datang.
Aku ada acara. Maaf aku tak bisa datang.
Atau saat aku membutuhkannya, dia selalu ada untukku.
PR Matematika ini sulit. Kamu bisa membantuku?
Tentu saja. Kapan?
Gia, aku butuh peralatan melukis. Aku pinjam punyamu saja, ya.
Sebenarnya aku ada kelas melukis hari ini. Tapi kalau kamu butuh, baiklah aku tidak usah masuk.
Gia, tolong carikan buku sejarah di perpustakaan, Gia tolong bantu aku menyelesaikan tugas dari Mrs. Moore, Gia tolong ini, tolong itu. Dan selalu jawabannya sama: Iya. Tapi aku tidak pernah mengucapkan terimakasih. Aku mencari dia saat butuhnya saja, tapi dia selalu ada saat aku butuh atau tidak. Dan aku tak pernah ada di sisinya. Aku memang tak berguna.
Tapi dia tak pernah muncul. Tidak di sekolah. Tidak di gereja. Tidak di taman. Tidak ada dimana-mana. Belakangan aku baru tahu, dia pindah ke Alabama. Apa dia sengaja menghindariku? Nenekku tinggal disana, mungkin musim panas nanti aku bisa mengunjunginya. Tapi saat musim panas tiba, dia tidak ada di Alabama. Dia seperti menghilang. Entah kemana.
Saat aku lulus SMA, aku berkendara melewati sebuah pemakaman di selatan California. Pemakaman itu telah sepi, tapi ada sepasang orang setengah baya yang menangis dan masuk ke sebuah mobil. Dari kejauhan, aku mengamatinya, dan sepertinya aku mengenalnya. Itu orangtua Gia! Setelah bertahun-tahun aku hidup dalam rasa bersalah, dihantui perasaan kecewa yang berkepanjangan, takut, khawatir dan merasa tak berguna, akhirnya aku menemukannya juga. Aku menghampiri mobil itu, dan memperkenalkan diriku.
“George, sudah lama sekali,”ucap Mr. Anderson berusaha tersenyum, dengan kesedihan yang terlihat samar dari matanya.
“Kamu tambah tampan,”tambah Mrs. Anderson. Aku tertawa pelan. Wajah mereka yang keriput tampak sedih, mata mereka merah terlihat habis menangis. Tentu saja, mereka kan’ baru dari pemakaman.
Aku bertanya dimana Gia dan apa yang sedang mereka lakukan disini. Mereka mengajakku ke rumah mereka. Sambil minum teh yang bahkan belum sedikitpun kami sentuh, cerita itu keluar begitu saja dari mulut mereka.
“Gia sudah pergi, George. Dia pergi satu bulan yang lalu, setelah kami pindah dari Alabama. Dia punya kanker darah sejak kalian SMP, dan kurasa Tuhan sudah memberi cukup waktu terhadapnya. Kami bersyukur atas mujizat yang diberi Tuhan, dia mampu bertahan sampai satu bulan yang lalu. Dia masih sempat ulang tahun yang ke 17, bahkan dia masih sempat menulis novelnya. Kami bersyukur atas kesempatan-kesempatan itu, kesempatan yang begitu indah dan tak terhingga besarnya.”
Tak dapat dilukiskan betapa hatiku hancur setelah mendengar cerita itu. Tuhan bahkan tak memberiku kesempatan untuk meminta maaf padanya. Dan sekali lagi, aku merasa bersalah.
Saat pamit pulang, mereka memberiku sesuatu.
“Gia menitipkan ini untukmu. Kami tidak pernah membukanya, dan bahkan meragukan kalau kami bisa bertemu denganmu. Tapi dia bilang, suatu saat nanti, entah bagaimana caranya, surat ini pasti bisa sampai ke tanganmu. Dia selalu bercerita kau orang yang sangat baik. Jadi kau pantas menerimanya,”
Aku terkejut. Gia tak pernah bercerita tentang betapa brengseknya aku, tentang betapa jahatnya aku. Aku menerimanya dengan tangan bergetar, dia selalu percaya keajaiban, dan ternyata semuanya terjadi, sesuai harapannya.
Di rumah, aku membuka surat itu dan membacanya sampai menangis. Aku tak pernah tahu perasaannya, tak pernah mau tahu, dan sekarang akhirnya aku tahu juga.
Dear George,
Suatu saat kau akan menganggapku sahabatmu. Suatu saat kau akan mencariku. Suatu saat kau akan minta maaf padaku. Suatu saat kau akan menarik ucapanmu kembali. Aku percaya itu, sebab aku tahu kau orang yang begitu baik. Tapi jika saat itu datang, mungkin aku sudah tak ada lagi. Jika suatu saat itu datang, mungkin kau tidak akan punya kesempatan lagi.
Perlu kau ketahui, aku tidak bermaksud menghindarimu. Aku pindah karena ada kerabat keluarga disana yang mungkin bisa mengobatiku. Tapi Tuhan berkehendak lain. Mungkin memang beginilah jalannya.
Kalau saat itu tiba, maka aku akan menjawabnya:
Aku selalu menganggapmu sahabatku. Tidak akan pernah tidak.
Aku selalu ada jika kau mencariku. Disana, tepat didalam hatimu.
Aku selalu memaafkanmu. Aku selalu belajar untuk itu.
Aku tidak masalah jika kau menarik ucapanmu kembali.
Dan aku akan tetap percaya kau orang yang baik. Selalu, selamanya.
Maaf jika tak aku tak bisa membantumu lagi, saat mencari buku di perpustakaan, membantu tugas dari Mrs. Moore atau saat kau butuh alat lukisku. Aku benar-benar minta maaf.
George, tetaplah tersenyum. Tataplah masa depan dan percayalah akan keajaiban!
Tuhan selalu ada disampingmu.
Salam sayang,
Gia.
Airmataku berjatuhan. Hatiku terasa damai, merasa bahwa Gia berada disini, mendengarkan permintaan maafku dan telah memaafkanku. Aku merasakan genggaman tangannya menguatkanku. Ternyata aku salah tentang kesempatan untuk minta maaf itu. Tuhan telah memberikanku kesempatan itu.
George L. Judd